ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Rabu, 22 Oktober 2014

Ayo Bermain

Hai
Apa kamu sedang sibuk ?
Mingguku tidak terlalu lengang. Tapi sepertinya setelah beberapa hari kedepan aku sedikit longgar. Aku akan pergi bermain. Mungkin ke tempat dimana orang lain tidak bisa menemukan. Aku jamin akan menyenangkan.

Judul permainannya : "Menjadi Apa yang Aku Inginkan". 

Aturannya mudah, kamu hanya perlu tahu apa yang kamu inginkan. Jadilah seperti itu tanpa pikir panjang. Karena tidak akan ada orang lain yang bisa menemukan. Mengerti? Oke sebagai contoh, aku ingin menjadi orang yang bisa mempertemukan dua senyum lalu menghentikan waktu, saling berpandang tanpa penghalang. Jika bosan, boleh saja pergi jalan-jalan ke taman bermain, lalu berfoto dengan lengan yang mendekap atau boleh saja jika ada tangan yang ingin mengalung di pinggang. Sampai keduanya lelah. Simple bukan?

Dan sepertinya aku butuh lawan bermain. Apa kamu ada waktu ? Jika senggang, ikutlah denganku.



22 Oktober 2014
K.
Read More

Minggu, 12 Oktober 2014

Jatuh Cinta Lagi

Aku jatuh cinta lagi.



Terakhir, hingga aku melupakan kapan aku senang melihatnya pulang. Melihatnya membawa begitu banyak hal baru untuk ia bagi. Menggodaku dengan canda yang hanya bisa kudengar setelah sekian lama aku berpuasa akan dia.

Untuk beberapa hal yang sangat masuk akal aku membencinya. Bersamaan dengan tumbuhnya diriku menjadi sosok yang kini katanya sangat tidak ia kenal. Bukannya semua orang hidup memang berubah. Mencintai yang lebih bisa berbuat banyak, membuat rutinitas baru, membenci, mendendam, dan sakit. Mungkin ia tidak tahu tentang hukum alam yang aku buat jauh sebelum dia menyadari bahwa aku sudah tidak mencintainya.

Hingga suatu malam memojokkan kita di depan layar bercahaya, secangkir kopi, cemilan yang tidak ingin kusentuh, dan puntung-puntung rokok. Beberapa sudah beristirahat menyala dan menyisakan sisa hisapan, satu diantaranya belum habis dan masih menyandar dengan asap yang membuatku tidak sesak. Entah mengapa malam itu asap terasa lebih indah daripada udara.

Kita hanyut dalam perbincangan. Mataku kian lelah. Badanku sudah memerah karena nyamuk yang beringas cari makan. Namun usahaku nampaknya belum letih untuk menahan dagu yang sesekali mengangguk karena kantuk dan leher yang telah ingin diistirahatkan. Aku masih melihat ia asyik berusaha. Dan itu membuatku semakin jatuh cinta.

Lama aku tidak mengenalnya. Dan dalam semalam aku rasa perkenalan itu sudah sangat intim tanpa perlu melewati tahap pendekatan.

Dalam pantulan cahaya remang aku melihat seseorang yang selalu menggendongku ke kamar saat aku tertidur di mobil. Seseorang yang selalu meneleponku dari jauh menawarkan oleh-oleh. Seseorang yang tidak lelah menungguku yang terkadang pulang larut, lalu membukakan pintu. Tidak jarang mendiamkanku untuk membuatku jera, namun selalu kulakukan hal sama. Seseorang yang tengah malam mengantarku ke mini market untuk membeli pembalut. Atau dalam wujud lain ia menjadi seseorang yang sangat merindukanku ketika aku jauh, namun menanyakan kabar hanya lewat orang lain, bukannya menghubungiku langsung. Ia tidak pernah lelah menungguku kembali mencintainya.

Dan kini aku menjawab penantiannya. Aku jatuh cinta lagi. Maaf Bunda, aku mengambil tugasmu.
Aku mencintainya. Lagi

12 Oktober 2014
K.
Read More

Dalam



Kendati jelas batas antara laut dan pantai, tidak ada yang bisa tahu, seberapa dalam air dalam mangkok super besar itu dapat menenggelamkan. Terlebih jika diberi bonus palung, lengkap dengan lubang hitamnya. Cahayapun enggan lewat apalagi mengetuk, karena takut membangunkan, ia juga takut ikut lenyap dan terserap hingga tidak lagi disebut cahaya. Ia ikut hitam.

Aku berdiri di atas tebing. Indah. Kakiku bisa kuayunkan dengan iringan ombak yang menderu tiada lelah. Tanpa hujan dan sedikit sinar cahaya hingga aku tidak perlu memakai kacamata. Angin meniupkan apa saja yang lebih ringan dari yang masih bisa bertahan. Aku. Tidak begitu dengan kerikil yang tidak terlalu berat. Jatuhlah kerikil melewati kakiku yang masih terayun dengan cepat. Nampaknya gravitasi tidak meloloskan siapa saja yang masih ingin bertahan namun tak berpijak. Aku hanya bisa melihat sampai ia menyentuh bibir lautan dengan menyisakan percikan kecil indah. Selepasnya, aku tidak bisa melihatnya lagi dan tidak kudengar ia membuat riuh yang bisa membangunkan macan lautan. Kasihan. Dia pasti sendirian. 

Angin tidak pernah tahu, apa yang ia buat. Karena mudah saja menjatuhkan sesuatu ke dalam lautan tanpa tahu seberapa dalam kerikil akan menjangkar. Seberapa dalam luka yang ditimbulkan.
Mungkin karang hanya tersentil geli. Tapi siapa yang tahu, kerikil tidak dapat kembali. Terperangkap dalam-dalam, meski ia terkadang merindukan angin yang sering mengajaknya bermain dengan debu dan daun kering.
Terkadang, harap yang kurang ajar menginginkan gravitasi hilang dalam air. Agar ia dapat sesekali melihat udara untuk menyaksikan yang menjatuhkannya tengah baik-baik saja.

Tidak ada yang tahu kerikil sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang mengerti seberapa dalam dia jatuh.


12 Oktober 2014
K.
Read More

Rabu, 08 Oktober 2014

Hingga Pagi Tiba

Teruntuk yang pernah ada. Menaungi sauna, menjadikannya sejuk dan mendingin meski tengah berkeringat. Aku mengingatnya dengan pilu.

Ada rindu yang tertatih coba menemukan pijakan dan pegangan agar tidak tersungkur. Jadilah ia sebuah cerita dalam pikiran dan hati setiap pemerannya. Aku merindukan ketika kita saling mendekap, menyemangati dalam tangis, menyayang dalam tawa. Hingga pagi tiba.

Aku malu pada apa yang sudah kian terkikis. Ratap untuk diri sendiri lebih baik daripada kumpulan rindu beberapa orang yang enggan saling menyapa dikumpulkan. Aku lihat dia melengang, menciptakan langkah yang kian membesar dan banyak. Secepatnya meninggalkan bayangan dirinya yang belum sempat tertangkap kaca. Namun hatiku tau, mataku tengah mengawasinya.

Aku lelah menjadi benci. Aku letih untuk sesuatu yang kucinta. Aku ingin segera bisa menerka, apa mereka juga sama. Seandainya “seandainya” itu tidak muluk. Ingin ku dekap mereka dalam air. Hingga mereka tidak sadar jika air mata rinduku tak lagi terbendung. Aku ingin menyapanya dalam angin ribut, hingga mereka tidak mendengar isak yang telah lama tertahan kian kencang. Aku ingin bersama mereka. Bersamamu, bersamanya, dan menjadi kita. Ke tempat yang aku sangat hafal. Yang membuatku berpindah dari suatu lingkungan.

Aku tidak butuh pantai, gunung, goa, atau taman hiburan. Reuniku untuk kalian hanya butuh hati dan maaf. Aku sungguh-sungguh ingin kita. Bangun dalam ruang yang sama, masih penuh boneka, selimut berserakan, serta minuman ringan bekas begadang. Hingga pagi tiba.



7 Oktober 2014
Dedicated to : kita berlima, dan lebih dari itu
K.
Read More

Senin, 29 September 2014

Selamat Tidur Lagi

 
 
Sekarang pukul 00.18 di tempatku. Entah lebih atau kurang bebera sedikit menit dari waktu ditempatmu, karena kita belum sempat bisa menyamakan waktu. Namun dalam ketidaksamaan aku bisa merasakan tubuhmu tengah berbaring. Sedikit meringkuk ke satu sisi. Sesekali mencoba meraih apa yang bisa kau pegang, dan aku harap itu tanganku, tapi realita menamparku dengan gulingmu. Bantalmu yang kian mengeras masih nyaman kau jadikan alas untuk menggelar imajinasi. Ingin kurapikan rambutmu yang melayu. Lalu berbaring menghadap sisi dimana aku bisa melihat wajahmu yang tengah tersenyum karna tidur terasa sangat syahdu.
 
Dan aku masih di sini berusaha keras menyamakan waktu. Apakah kamu masih disana ? aku sedikit tersesat, kehilangan bintang selatan.
 
Tunggu...
Izinkan aku menyusulmu ke alam dimana aku takkan bersuara agar mimpimu sempurna. Dan tanpa lelah mengitari orbitmu. Atau sudah cukup sebagai selimut tempatmu bersembunyi dari dingin yang kadang membuat bulu lehermu bergidik. Baiklah, akan kumatikan kipas anginmu.
Izinkan aku menjadi apa saja yang bisa kau jamah dengan rasa dan karsa yang lebih nyata saat kau terlelap.
Hingga pagi membangunkanmu dengan wajah malas, dan aku masih di sana. Di sisi dimana kita hanya bisa bertatapan dan bertukar karbondioksida saat membuka mata, sambil saling melempar "selamat pagi". Selamat tidur lagi.
Read More

Minggu, 28 September 2014

The Unholy Confession

I was born perfectly, I knew it, everybody knew it, but my logic always deny. I have too much pessimism than optimism in me. I always over think something and afraid for what I’ve done isn’t enough, they’re absolutely not perfect before my expectation. I hope too much, but I act too less. That’s why I stuck in this damn pathetic thinking, guess I will never go anywhere. My heart is like a door that is made without the key, I will never fall in love. Regretfully, I blame someone for my weakness, for all my faults. He is me, the weak of me. I hate myself when I do become soft, perhaps the world is rougher than the surface of the moon. I wish to be “Yes” man, accept all those kindness that universe gives, but I decided to refuse, cause they come too long. I hate waiting, neither you. I wish to be “Pygmalion”, the most pathetic ancient greek hero I ever know. He carve the statue of his own ideal woman he dreamt of, then suddenly the goddess of love feel so pity about him. With her Goddess power, she give live to the statue. Pygmalion feel so blessfull. I feel both, happy and jealous at the same time. Why didn’t she (Goddess of love) choose me? So, I can carve you in a statue, dear.
Sometimes, I browse the internet, click up WikiHow, do some search “How to talk to a girl you like?”. I’ve got nothing but only 404 error. They never be found, I never gonna get the answer. Then I’m realize that you’re not an object that have manual books. You’re special, You’re venus. The mysterious planet in my galaxy, even astronauts didn’t know what inside of you. You act like the logarithm equation that never be solved, even you give me those “alpha, betha, gamma”, but I’m too dull to catch the answer. I suck at math, I suck at love too.

I have bad headache all this time I think of you, you just like a large bad sector in memories of my brain I wish I’ll never clean. You stole a big half of my time, I waste the rest to find a way how you can see me now. I remember, some wiseman said,“ Brain is somewhere place like a house, Be wise to choose your furniture,” and this sounded right, cause I hang your images everywhere, your pictures anywhere in my mind, then you always appear in imagination. Some slang said in cool way, “Don’t waste your time thinking something/one they don’t give a shit (“take care”) about you”, but I tried not to believe it. I’ve read many books, they mention so many pearl of wisdoms. One of those pearl line in those book said,” Life is all about giving”, and you will get in balance for bonuses. I favorite one of them, “If you want to be loved, be lovable”. So, I choose to be lovable, by you.

We’re just like playing domino, I fall for you, and you fall to another. We live in antonym world, for what I see is “good”, and look like “bad” for you. You, the only one among all of the creatures which God created, that yet I don’t really understand. Just give me a reason why should I fall in love with you, so I can die peacefully right now for giving in, to find impossible way for this sickness. I name the disease like a love song I used to listen, the name is “What can I do to make you love me”. But, just like good novel, they don’t always have a good ending. And soon to be, we will forget each other now and then. I will pretend this feelings never happen, the part of “Falling in love with you”. 


Read More

Bukan Pesan Cinta



Surat ini sebenarnya sudah bertujuan. Beralamat, dan bertuan. Namun entah apa yang membuatnya tertahan. Bukan malam, apalagi sarana penghalang. Agaknya si pengirim terlalu pecundang.
Belum cukup waktu ratapan sendiri. Tiap pagi, dipertegas bila petang datang lebih awal. Bahagia dan semringah menyurut. Diusut oleh ombak yang kian mengkerut. Menanti nyala kelip di sudut benda mati yang hidup. Bersama timbunan hal yang sudah menjadi kenangan. Tidak lagi bisa maju sebagai momentum.
Enggan. Ia hanya mau bertengger di sana.

Mata belum jengah. Ingin berteriak selalu kuat tiap gelap. Dan carut marut batin semakin melahap kalap. harus dengan apa aku utarakan. Gadismu masih sama, menunggu dirimu yang lama. Yang baik-baik saja sejak pertama saling mengenal, lalu jatuh cinta.
Namun kini apa ? Ada dua orang yang punya rasa begitu dalam tapi mencoba saling benci dan lupa. Terkadang salah satu lemah, dan diperparah ketika sama-sama kuat.

Dimanapun kamu, semoga lekas gagal dari upaya keras menjadi sosok lain itu. Angin mulai lelah mengirimkan isyarat merdu. Kini, bahasa yang kutahu tinggal rasa. Usaha yang kubisa hanya doa. Dan kabar yang sanggup kutangkap cuma firasat.

Bagaimana kabarmu ?
Aku rindu.
Read More

Sabtu, 20 September 2014

Akan Tiba Pada Waktunya

akan tiba waktunya,
apa yang dinantikan, datang
apa yang diimpikan, terwujudkan
apa yang belum diungkapkan, terjelaskan
apa yang ditakdirkan, dipertemukan

yang dibutuhkan momentum hanyalah waktu. sebelum ia beranjak dan menjadi kenangan. yang dibutuhkan umat hanyalah menunggu. sebelum ia terkikis dan menonton deformasi berlangsung. yang dibutuhkan pemeran hanya mengikuti arus. sebelum ia terjun dan membentur batu. dan yang kubutuhkan hanyalah diam. sampai dimana aku terlupakan, tertinggalkan, atau bahkan terpilih.

Read More

Sabtu, 13 September 2014

Let's play



Hai.
Ada yang menahan untuk menyuarakan sesuatu beberapa waktu lalu. Terdengar seperti koneksi internet, dan ada juga yang disebut niat. Pagi ini, selalu pagi, dan terlalu pagi. saya mendapat pukulan dari seseorang, pukulan yang mengistilahkan dirinya sebagai "sedalam". Dia yang aku percaya, berkata maaf tidak mengetahui saya sudah sedalam itu. Ada yang melonjak juga pagi ini ketika ia menanyakan apakah saya sudah memakai baju selam meski lupa tidak membawa oksigen, lalu bisu menjawab, "Saya pakai baju tidur, saya pikir saya akan pergi ke Neverland, ternyata salah." Dia hanya membungkam dan menggenapi kata "sedalam" itu dengan dalam-dalam yang lain. Lalu berpesan, "Hati-hati, hati."

Masih dia, mengingatkanku akan si pemarah. Saya yang semula hanya jengkel dengan tuduhan egois disadarkan olehnya, "Marahnya itu sama keadaan. Kalo ternyata apa yang kalian yakini selama ini akan jadi sia-sia. Agama kembali menjadi sesuatu yang sakral. Dia tau dia pemenang, tapi dia tidak punya nomor peserta. Itu akan jadi sangat menyakitkan dari hanya sekedar ditinggalkan." Tidak ada jawaban yang lebih pantas dari, "Saya tahu." tapi saya yakin dia tahu saya tidak tahu. Dan akhirnya yang saya tahu hanya egois itu menyenangkan, jika lawan mainnya tepat.

Untuk dia yang lain.
Mungkin saya belum sadar dengan pukulan-pukulan itu. Terkadang saya berpikir siapa yang bisa membuat saya menunggu hanya dengan kalimat, "Tunggu saja nanti kalau saya sudah punya waktu." Tanpa permohonan menunggu, atau jaminan akan ditepati. Ada yang bilang dia orang yang sangat hebat atau sebaliknya saya yang glaukoma. Saya menggadaikan sesuatu tanpa berkas. Dia hanya datang terlambat tapi sudah menggenggam nomor peserta VIP. Curang. Dia menang telak tanpa melakukan apa-apa. Saya ingin tidak memenangkannya, tapi selalu gagal. Dan ritual 2 sampai 3 jam bertukar cerita itu menjadi sangat tidak masuk akal karena membuat saya semakin memenangkannya. Tanpa usaha. Dibalik keinginan ingin diusahakan, ada maaf yang selalu diberi percuma lantaran keinginan itu hanya bual belaka.

Untuk kamu.
Kalau saja ada kata yang lebih tinggi tingkatannya setelah "Maaf" saya ingin sekali kamu percaya. Saya berbohong terlalu banyak. Saya tahu kamu tahu saya berbohong, dan saya tahu kamu selalu berusaha untuk berdamai dengan marahmu, untuk berdamai dengan kondisi dan selalu mempertahankan meski kamu tahu pertahanan saya mulai rapuh. Saya tahu kamu selalu penuh usaha meski marah-marah. Orang lain tahu kamu tidak punya nomor peserta. Semoga kamu tidak pernah lelah berusaha.

Untuk saya.
Saya harap ini bukan hanya sekedar game virtual bobrok. Saya harap game ini membiarkan pemainnya punya 2 nyawa, dan hak veto untuk berjaga-jaga jika salah keputusan. Saya harap game ini segera di upgrade. Karena sudah ada yang mulai lelah bermain. Bahkan saya ingin saya yang kalah, bukan saya yang memutuskan siapa yang menang.



Read More

Senin, 07 Juli 2014

sudahlah

Belum usai diri ini mencoba untuk menjawab apa yang telah berpuluh jam sebelumnya menjelma menjadi sebuah tanya. Malam menjelaskan tanpa ampun dengan wali semua perangkatnya yang tidak lelah menyinar. Malam itu aku ditertawai langit cerah, kuinginkan hujan agar membuat semua lebih lama. Namun aku dipaksa bangun untuk menyadari bahwa hujan hanya dalam hatiku saja. Mungkin itu rasa-rasanya sosok kesedihan yang terijabah. Beberapa kilo aspal hangat turut menjabarkan bahwa ini tidak adil. Begitupun dia yang sedari tadi asyik dengan gitarnya. Dentingan nada sumbang kian mengiris kuping. Tidaklah membuatnya risih terdapat seseorang duduk di depannya yang sesekali mencuri pandang atas sesuatu yang baru dari dirinya. Yah, dia potong rambut. Ingin aku bilang kamu ganteng, kamu bersihan, atau kamu lebih rapi, tapi kalimat itu sudah pudar menjadi jamu pahit yang tertelan bersama ludah orang yang seharian berpuasa. Seperti kata maaf yang sedari kemarin harinya tertahan untuk terucap lantaran kesempatan juga ikut menguap. Nampaknya keahlianku untuk menyusun alinea turut hilang bersamaan dengan kemampuanku untuk menatap matanya. Entah apa yang terjadi pada dua orang yang sangat mengenal satu sama lain bertahun-tahun, bukannya tidak adil kebersamaan itu dijadikan bahan lelucon oleh satu malam dan menjadikan sesamanya seperti orang asing yang enggan menyapa? Segera kusudahi ketidaktahu dirian ini. Lantas aku bangun dan berpamitan dengan doa bisa kau tahan. Namun aku salah berperasangka, kakiku terus melaju meskipun lambat hingga kunyalakan motor dan hilang di balik pandangannya yang sudah ia alihkan sejak aku masih di depan rumahnya tadi. Mata ini tak henti menengok spion sambil malu, alih-alih ada dirimu tercermin, namun salah duga itu terus berlanjut. Aku hanya mendapati lampu-lampu kendaraan yang menyilaukan dan membuat mataku berkunang-kunang. Setidaknya ada yang menyamarkan luka ini, ada yang bisa menutupi mata yang telah lama ingin menjatuhkan sesuatu. Aku sangat paham mengenai apa yang tidak ingin dia bahas. Monolog malam itu akhirnya pecah menuntut sebuah kepastian. Aku tidak peduli mengenai seberapa nista diriku memohon, aku hanya takut pembicaraan ini tidak akan lagi ada. Di ujung telepon sana suaranya setengah terseret, isyarat bahwa ingin dialog satu sisi ini segera disudahi. Aku menjelaskan apa yang dari puluhan jam lalu harusnya sudah aku rincikan. Tapi lagi-lagi aku disalahkan, dan keengganan itu semakin kentara saja. Kini tertuduhlah aku sebagai si pemaksa. belum cukup itu, dia matikan saluran telepon dari ujung yang terdengar sangat jauh dari biasanya. Dikirimkannya apa yang ia muakkan dan ingin muntahkan tadi dalam sebuah tulisan lewat layar kecil bercahaya. Aku heran mengapa aku senekat ini menanyakan sesuatu yang sangat retorikal. Getir memang, namun kesalahan semalam membuatku seperti orang haus jati diri dan merunut apa yang menjadi sebab serta ingin menatanya agar terdengar baik dan tidak picisan. Tapi apalah artinya jika niat itu hanya datang pada satu sisi saja. "Aku akan menyesal setelah malam ini." Ia mengatakannya seraya mengirimkan pukulan nyata yang tepat mengenai dada. Lalu apa maksudnya? Aku yang sudah ingin bersama dan dia juga demikian, namun mengapa keputusan sudah terlalu cepat menjadi vonis. Kenapa terlambat itu datang sebegitu singkat? haruskah aku yang memperbaiki sendiri seperti yang sudah-sudah? Lagi. Ada lelah yang keterlaluan dan jengah yang terlampau tebal. Nampaknya aku tidak boleh menutup mata dari realita "sudahlah" ini. Lantas kebersamaan kita harus kuapakan setelah ini? Kuburan itu telah penuh dengan hal pahit lainnya, tidak muat jika harus kujejali dengan kenangan bertahun-tahun kita. Andai ada tiket maaf itu, berapapun kubeli walau harus mengemis di kaki calo. Namun kamu enggan memberikannya dan dengan mantab mengatakan tiket itu telah hangus. Masaku sudah berakhir. Kamu juga sudah terlanjur mengumumkannya, dan tidak ingin aku membuatnya malu untuk menarik keputusan yang telah diketahui banyak orang itu. tanpa peluk, hanya jabat tangan singkat yang mengakhiri "kita" dengan lugas. aku juga harus berusaha mempelajari konsep sudahlah-mu dan mencari kuburan baru. meski aku masih ingin kamu antar ke terminal bus setiap minggunya dengan bonus kecup kening, tapi pagi ini cukup angin dan hati yang kian terluka saja yang membawaku "pulang" untuk menjauhimu. Ada hati yang masih sangat ingin, ada sesal yang begitu dalam, ada mata yang belum bisa berhenti mendesirkan luka hingga membuatnya tak kunjung kering oleh air.
Andai saja aku bisa dimengerti, aku ingin untuk sekali ini saja.
Read More

Senin, 23 Juni 2014

aku bukan penuntut, sungguh

aku ingin berbicara dengannya lebih dari sekedar menggunakan bahasa.
aku ingin lebih dari sekedar "ngobrol sore".
aku ingin dia tahu maksudku tanpa aku beritahu.
aku ingin dia tidak merasa bahwa aku penuntut handal yang ingin dia selalu tahu aku.






Read More

Senja (Part 2)

malam yang seperti biasa datang tepat waktu. sehari kulewati dengan beberapa kegiatan yang membuat betisku lebih kaku dan punggung yang sedari sore sudah berteriak ingin direbahkan. 
pesan singkat dari batin telah kuterima, ada hal yang memaksa mata kelelawar pagi hari untuk membuka, serta kaki yang belum juga kembali baikan dipaksa berjalan meski tidak seberapa jauh. sesampainya disana, aku disambut oleh pintu tertutup serta jangkrik yang sudah ingin pulang untuk beristirahat. beberapa menit kemudian, senyap itu berganti dengan suara pintu terbuka, aku masuk penjaranya. tidak banyak bicara, dan mata sipitnya juga semakin sayu enggan bernasib sama dengan pintu rumahnya. aku menyaksikan dia melakukan beberapa hal dengan mata menuju layar bercahaya. aku bisa merasakan setiap perpindahannya. aku terus saja mengerjakan pekerjaan utamaku datang ke penjara itu pagi buta. ya, mengerjakan tugas sebenarnya hanya alibi dan sebagai kamuflase atas keinginanku menyaksikannya di awal hari, untung saja aku punya beberapa warna alasan untuk menutupinya.

dia lalu asyik dengan telepon genggamnya, dunianya dia buat menyempit dan selalu tidak ingin terdengar sepi setiap bersamaku. bukan hanya kali ini. menyalalah music player dari genggaman tangan manusia yang masih rebahan di kasur, kemudian sesekali terdengar sound aneh dari permainan yang ia mainkan untuk melindunginya dari rasa canggung, mungkin.

beberapa banyak menit di awal terasa jengah dan asing, sampai pada suatu detik aku bertanya sesuatu kemudian dia merespon tanpa menjawab sekatapun. hanya pergerakan dari badan yang aku yakin itu terkendali dalam sadarnya, membuatku dapat merasakan hembusan napas lirih yang meniupi rambutku serta baju tebalnya yang kurasa hampir bersinggungan dengan punggungku. tangannya berada di atas tangan kananku dan itu menjadikan semua waktuku tidak terkendali dan sontak mengundang niat untuk menjauhkan punggung tanganku dari telapak tangannya. dia terus saja menjelaskan sesuatu yang aku gagal mengerti karena lebih terfokus pada hal lainnya, merapikan perasaan.

ingin sekali aku mengirimkan seperdelapan bagian jiwaku untuk menelisik dan mengendap masuk ke dalam hatinya, alih-alih hanya untuk mengintip apakah jantungnya mendetakkan nada yang berbeda dari normal, seperti lebih cepat mungkin. tapi sebelum berhasil menemukan cara untuk masuk, keadaan hangat karena tubuh kita saling dekat itu memudar, menunjukkan dingin pukul enam pagi yang sebenarnya. dan dia kembali pada dunianya lagi.
mungkin segalanya terlalu kentara kala itu, aku rasa dia tau yang aku ingin tutupi. dia mendekatkan diri namun tidak seintim tadi. seraya mengambil alas untuk kepalanya dan menemaniku mengerjakan tugas. sambil sesekali bercerita hal yang selalu kuingat setiap titik komanya.

lalu aku menemui waktu yang selalu ingin kumundurkan, yakni selesai. aku telah menyelesaikan tugas gadunganku dan tidak punya alasan lagi untuk tinggal lebih lama. dia menyuruhku untuk tinggal beberapa menit menunggunya mandi. akupun mengiyakan tanpa syarat sambil melakukan hal lain yang aku sebenarnya tidak ingin aku lakukan, kecuali melihatnya. tidak sempat kusaksikan dia keluar dari kamar mandi, aku sudah menemuinya selesai berganti baju dan membuka pintu kamar yang sebentar tertutup. aku sangat ingat, dia berbaju putih sangat bersih, bercelana biru sedikit tua yang sepertinya baru dia ambil dari lemari karena masih terlihat jelas bekas setrika. dia berjalan ke belakang sambil mengeringkan rambut, tanpa ia sadar saat membalikkan badan dia membuat waktuku macet, dan mulutku tercekat tidak sanggup merespon apa-apa kecuali menyimpulkan senyum yang tidak ingin aku sudahi. dia sangat indah. dengan bau sabun dua ribu yang aku rasa dia beli di kios gang sebelah serta rambut yang belum kering beberapa menyembul ke atas. aku sangat ingin belum pernah melihatnya dengan kondisi sesempurna itu. kemudian aku takjub dan waktuku macet berulang kali sampai aku merasa cukup.

setelah dia mengantarku pulang, dia hanya berpamitan dengan senyum sebagai alatnya dan alis kiri yang setengah mengangkat ke atas. sialan ! dia berhasil membuat jiwaku tidak waras pagi itu. dan ketika pintu pagar kututup, aku melihat dia hilang dari pekarangan lalu aku merasakan aku telah merindukannya.

sampai pada sore hari di tanggal yang sama, aku masih memandangi ruangan di luar rumah yang dulu menjadi tempat bagi objek intipanku. sudah kosong, sudah pindah, membawa sebelah hatiku turut serta bersamanya. tanpa dia tahu, aku terus berharap dia segera kembali untuk mengembalikannya utuh bersama hatinya yang melengkapkan.
Read More

Sabtu, 10 Mei 2014

Senja (Part 1)

ada yang kulewatkan dari pagi ini
embun
gemericik air sengaja kualirkan perlahan, kecil-kecil saja agar tidak membangunkan nyamuk yang baru saja tidur karena semalam telah berjaga. enam rangkaian sujud kuselesaikan, dengan ritual akhir yang lebih lama dari lima sebelumnya, hingga tidak jarang membuatku tersedak karbondioksida. aku mencari yang membangunkanku, tapi aku lagi-lagi kalah. terlalu banyak hal yang kulewatkan hingga menyudutkanku pada posisi selalu menerima. kali ini aku kalah dengan matahari pagi, ia menguapkan embun lebih awal dari biasanya. menjaga mahkota keduanya setelah pelangi, meski hanya untuk sekedar kunikmati beberapa menit saja. tapi aku sudah kalah.

kuketuk pintu yang lama tertutup sebagai tamu baik hati yang mempersilahkan tamu lain untuk masuk. cahaya.
namun tak kunjung terbuka. sekalinya sedikit menganga, aku hanya menjumpai setengah badan telanjang dengan mulut bermentega yang siap merusak saraf dan melanjutkan kekalahanku. sebelum cahaya ingin masuk ke dalam kubangan kecil bagian salah satu inderanya, aku buru-buru pergi dan meletakkan segelas susu sapi hangat di nampan yang beberapa detik lalu telah berpindah tangan.

sudah lama aku gila, sudah lama aku memuja berhala hidup, berambut gimbal bersandang lusuh. ritual susu hangat tiap dua hari sekali pada tanggal ganjil sengaja kurutinkan. alih-alih untuk mencuri sedikit kotoran rambutnya yang tidak sengaja jatuh ketika bertabrakan dengan semilir angin. menyapu puntung rokok yang ia buang dari jendela kamar setiap sore, lalu kubersihkan kembali dan kujejer rapi dalam kotak logam tipis berukuran 15x15 cm.
aku suka gabus cokelat setengah basah hasil hisapannya. baunya harum, lebih nagih daripada bau mie instan goreng hangat. mungkin hampir sejajar dengan bau tanah setelah hujan, maka jangan suruh aku memilih antara keduanya.

tidak jarang aku melihatnya bersama sosok satu jenisku. tidak satu dua dan sekali dua kali. tapi memang benar kata seseorang dalam cerita fiksi itu, "tidak ada yang tahu siapa yang lebih mencitai siapa, dan untuk berapa lama." tidak ada yang tahu, sekalipun aku. mungkin suatu saat akan ada yang memberitahuku, jika kotak berisi puntung itu telah penuh dan harus kuletakkan di pelataran belakang rumah tempat hujan menyematkan keajaibannya setelah berhenti bertugas.

aku masih sama di tempat yang susah ia lihat, menunggu mati namun tidak rela. banyak yang kutargetkan dan ingin kulakukan, menyanyi, surfing, mendaki puncak tertinggi, rock climbing, ke alaska, dan berada dipelukannya. maka aku bukanlah orang mulia yang tidak sengaja mati muda, jikalau esok aku tinggal nama, mungkin semua atas dasar kesengajaan. perjalanan hidup ini layaknya sinema, setiap orang diberikan perannya masing-masing tanpa bisa memilih. dan sekalipun aku memiliki pencapaian, maka itulah hal yang membuatku akan sendiri. karena satu posisi hanya untuk satu orang yang mengisi, dan bersiaplah menjadi sendiri. begitupun aku yang ingin posisi di sampingmu, dengan resiko suatu saat aku akan sendiri.

mungkin aku terlahir untuk mencintai puntung rokok. bertaruh dengan waktu setiap hari, mengenai berapa banyak yang aku dapat. dan selalu kalah ditanggal tua, karena dia selalu hemat.
namun sore itu angin bertiup lebih sejuk dari biasanya. dia menyapaku... untuk meminjam sapu. aku kalah telak, kotak logam libur kuisi untuk sehari. gara-gara sapu duniaku macet, tanpa asap dan klakson-klakson mahal. dia memanggil namaku dengan lancar, menarikku untuk menoleh dan tertarik pada pusaran medannya. kakiku lemas, kakiku tidak punya pilihan lain untuk melipat dan duduk di kursi rotan depan kamarnya. kita berbincang sangat lama, dibandingkan perbincangan oleh pengantar susu pagi. untuk beberapa menit, ditangan telah ada gitar dan berpangku pada pahanya yang bersila. jemarinya memetikkan nada-nada yang membut macet semakin menggila. tanpa kesengajaan mulutku meramalkan lirik lagu yang ia mainkan, sebenarnya agar tidak terlihat canggung dan terasa sedikit sok asik. kita berbicara tanpa saling pandang, bergantian melempar tawa tanpa tahu langit sudah berwarna orange, sebagai latar dari kumandang adzan masjid gang sebelah. nyamuk-nyamuk yang mulai bekerja menuntun kami untuk kembali bangun dari mimpi.
sore itu, aku telah menyelesaikan satu keinginanku, sore itu alam menjawab doaku. dan tidak akan kulupakan lagu yang kita nyanyikan di ujung senja.

samar aku dengar suara serak pecandu nikotin itu, "Zi, terima kasih." aku hanya membalas dengan senyum terikhlas yang sudah lama meronta keluar dan segera kuleyapkan diriku dibalik tembok karena khawatir ia melihat perubahan spontan dari mukaku yang terbakar senja.

namanya, Adra.

Read More

Senin, 28 April 2014

anak semesta

hai anak semesta yang berinduk hutan dan bapaknya lautan.
kau seperti elegi yang bersinergi dan membentuk karya mengagumkan. sampai mati aku akan memuja penciptaMu.



Read More

Selasa, 15 April 2014

Sahabatmu

Hai
Apa kabarmu manusia yang bertemankan dengan malam dan berintim dengan kesunyian?
Aku masih sama, ingin menantang bulan dan menanggalkan yang kupunya untuk mengantikannya. Semoga kamu baik-baik tanpa kebohongan. Aku selalu ingin mengabarkan, namun selalu terbatas oleh media. Bukan jarak dan waktu, namun sebuah media yang kuberi nama, "nyali". Kamu tahu susahnya?
Setiap selasa aku beritual dengan mantra yang lirih kuramalkan untuk sekedar mencuri kesempatan jika takdir lelah memutus.

Malam ini alam bersinergi untuk mencuri segenap perhatianku, untuk membuat lututku lemas bersujud. Memaksa apa yang aku punya untuk mengakui bahwa aku,
Rindu...

Apakah kamu... oh lupakan. Aku hanya berbicara dengan tombol yang penuh akan angka. Mungkin dia yang sangat mengerti pada saat-saat seperti ini.

Angin memanggilku keluar dari balkon rumah sederhana, menunjukkanku jalan, bukan untuk pulang. Namun untuk bertanya akankah kau memikirkan hal yang sama. Garis cahaya di kanvas hitam super besar itu sangat indah. Mungkin suatu saat kita bisa melihatnya bersama di lahan rumput sempit sambil rebahan dan menikmati cokelat panas. Aku berjanji akan membuatkanmu mawar kertas. bukan burung kertas, aku tidak pandai membuatnya. Ada beberapa titik tidak begitu besar memendar, lebih terang dari teman-temannya. Biasa kugambar dengan bangun datar segi sepuluh.

Belum puas membuatku kalah, malam mempertegas keadaan dengan aku bercerita pada diriku sendiri, menikmatinya sendiri. Semakin buruk bukan?
Tidak. Aku tidak akan menyalahkan teman setiamu. Aku hanya lebih tidak suka dengan siang yang membuatku sadar bahwa saat gelap aku selalu mengingatmu.
 

Semoga dengan berakhirnya lagu yang kudengar saat ini, aku sudah bisa mengurangi sedikit rinduku.
Read More

Selasa, 01 April 2014

selasa ketiga

hai
ini selasa ketiga, sejak aku jatuh dalam kubangan ceritanya. entah ada energi positif apa yang selalu kutanamkan setiap memulai hari selasa dengan rasa percaya akan indah. tidak begitu dengan pagi, aku melaluinya dengan biasa, makan makanan yang biasa kumakan, mengikuti rutinitas yang biasa kulakukan.hanya absen akan ritual yang selalu sama.
pagipun segera memuram, menampakkan wajah keabu-abuannya. tidak begitu denganku, aku masih rajin bermimpi di bawah atap separoh terbuka, dengan hiruk pikuk lalu lalang orang dengan aktivitasnya. ada yang beristirahat, ada yang baru memulai mimpi, ada yang menunggu. seperti aku

rutinitas membosankan seperti sebelumnya masih saja kujalankan. kali ini muram pagi mengahantarkannya pada siang yang abunya keterlaluan. badai
ya, hujan badai. baru sekali di kota itu aku melihat hujan sebegitu hebatnya. menyuarakan bunyi-bunyian menakutkan, yang rasanya hanya menunggu momen untuk gelap.
ada yang menyenangkan pada layar ponselku. nama yang sebelumnya kukenal namun belum pernah hadir. aku menemuinya dengan segala kebasa-basian yang kurancang dan dia percaya. seperti selasa biasanya, dia masih menawan.

dari kejauhan sosok itu kukenal, sepatu yang amat kukenal, tangan pemegang rokok handal yang kukenal. kali ini dengan minuman kotak di sampingnya yang kalah segar dengannya. aku berbincang, tidak lama hanya beberapa jam. sembari menunggu hujan yang sedari lama kudoakan agar tidak pernah berhenti. dia terus saja bercerita, mungkin dia lupa atau tidak sadar akan sosok yang sedang mendengar dari semua segi akan dia. dia tidak sadar ada wajah nanar bermata binar berharap dia tidak pernah sadar, hari selasanya selalu dia buat indah.


Read More

Rabu, 26 Maret 2014

selasaku

aku hanya berharap ini hari selasa.

ada yang menyentil indera perasaku.
hari selasa, dalam keramaian stan-stan makanan dan kerumunan banyak sekali mahasiswa. aku hampir saja tidak menemukan tempat untuk singgah bahkan memesan. berdiri menanti giliran. 
bukan setengah baya, tidak juga terlalu muda. pas untuk ukuranku dan, ah entahlah
tidak terlalu kurus. hanya tentang kekagumanku akan sosok lainnya.

aku memberanikan diri. menyapa dan duduk disebelahnya, lalu mengobrol dan menemaninya menghabiskan batang demi batang untuk menambah polusi udara. begitu juga cairan yang ada di dalam gelasnya, tidak begitu saja habis. bahkan aku berharap tidak akan pernah habis, sehingga selamanya aku akan menahan diri untuk duduk di sofa hijau bolong kumal, yang di dalamnya sudah banyak puntung rokok.

aku bertahan dengan ketidaknyamananku. kakiku masih kuat untuk menahan kram yang tidak begitu. aku terus saja mendengarnya bercerita. mendengarnya mengekspresikan tentang apa yang dia tahu. tanpa sadar jam demi jam terlewati dan mengharuskanku untuk segera mengakhirinya. karena aku khawatir dia akan jenuh lalu memakan puntung rokok akibat lelah bercerita.

aku bukan anak yang terlalu muda. saat aku lewat tempat kita bercerita, aku tidak melihatnya. di depan ruangan yang biasa aku menyapanya juga tidak ada. entahlah, mungkin karena bukan hari selasa.

jam yang terasa singkat menulari hari untuk berlari lebih cepat dari biasanya. berlari menemui selasa, begitupun aku.
dari jauh aku mengenali sosok yang tidak ramping itu, dia... seperti biasa. mempesona. beribawa dan... ah
tidak seperti selasa sebelumnya, aku mengobrol tidak terlalu banyak. waktu juga ingin segera menyelesaikan tugasnya hari itu. aku kehilangannya dengan beberapa kali sapaan basa-basiku.
mungkin karena hari selasa yang membuatnya indah. yang memberikanku kesempatan cuma-cuma untuk melihatnya.

seandainya rabu sampai senin juga mengerti, seperti selasa yang selalu memahamiku...



tidak semua yang kutulis adalah kamu. dan tidak semua yang kutulis adalah aku.
Read More

rinduku

dear blog, sekian lama tidak menyentuhmu. imajinasiku seakan mati suri. dan beberpa waktu lalu telah dibangunkan, mungkin seseorang, suatu hal, atau sebuah apalah yang mendorongku untuk menengokmu. aku seperti habis kata, kering akan perbendaharaan yang biasa kurangkai sebagai kalimat.

tahukah? ini sudah akhir bulan ketiga di tahun 2014. tahun yang selalu terlalu cepat untuk maju, yang setiap harinya membuatku iri ingin mengulang masa kartun mingguku. mungkin karena sudah terlalu jenuh. aku terlalu fana akan retorika hidup yang membawaku hanya mengikuti arusnya, tanpa bisa menolak atau mencoba jeram.

setiap pagi aku jalan ke kampus melewati jembatan yang tidak begitu panjang, lewat gedung tinggi besar. dan setiap pagi aku selalu menyempatkan kepalaku untuk melongok ke bawah, ke arah arus tenang yang berwarna coklat. sering aku bernyanyi lagu-lagu masa kecilku. tidak jarang aku tertawa sendiri tanpa sadar sudah diseberangkan oleh pak polisi. ya, aku hanya iri

aku iri dengan ketidaktahuanku dulu. aku iri dengan memori kecilku yang terlalu indah. aku ingin protes kepada waktu sehingga dengan iba ia akan membiarkanku semalam saja kembali ke masa putih merahku.
aku rindu...






apakah kalian sama merindunya denganku ?

Read More

Kamis, 02 Januari 2014

bilik 1x1 meter

apa yang dapat mematahkan hari ini ? apa yang dapat mematahkan esok ataupun mimpi ?
kenangan.

saya dibalik layar bercahaya, dalam bilik 1x1 meter yang begitu luas untuk melihatnya di depan saya. dia juga dibalik layar bercahaya lainnya. dia juga duduk asyik dengan dunianya yang menyempit 1x1 meter. kadang cemberut, menopang dagu, atau tiba-tiba terbahak yang kadang kala membuat saya ingin tau apa yang dia tengah hidupkan, apa yang membuat dia senang kecuali saya.
dia tidak tampan, dia juga istimewa saja, tidak sangat istimewa kecuali untuk saya. dia biasa, sederhana dengan celana pendek dan kemeja flanel panjang. rambut acak-acakan belum mandi, tidak begitu wangi hingga ke bilik saya. tapi saya berjanji akan mengangkat tangan pertama untuk kesempatan mengendus punggungnya.
kalau begitu, dia istimewa saja.

matanya coklat muda..
kulitnya sawo matang.
tingginya lebih beberapa senti dari saya.

saya suka dia entah dari kapan. tapi seperempat hidup saya, saya gunakan untuk mengenalnya cuma-cuma. mungkin dia juga suka saya, tapi saya tidak pernah ingin tau seberapa besar rasa itu. saya hanya menikmati setiap sakit, jatuh, pelajaran, dan kesenangan yang dia beri gratis untuk saya. mungkin karena dia biasa, saya takut jika mencari keistimewaannya yang lebih akan dicuri oleh orang lain yang ingin ikut mendamba.

sekarang saya hanya bersyukur dengan apa yang saya punya. menikmati apa yang saya bisa rasakan dari dia. untuk amunisi suatu saat jika dia tidak bisa di samping saya lagi atau yang punya dia menyatakan bahwa waktu peminjaman telah habis.

saya menikmati punggung gratis itu, bahu yang tidak begitu bidang itu, tangan lembut itu, wangi itu, asap itu.
saya sangat suka semua akan dia. tapi terserah untuknya, saya tidak peduli.



dia masih di sana, di dalam biliknya, dibalik layar bercaya.
Read More

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena