ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Sabtu, 13 September 2014

Let's play



Hai.
Ada yang menahan untuk menyuarakan sesuatu beberapa waktu lalu. Terdengar seperti koneksi internet, dan ada juga yang disebut niat. Pagi ini, selalu pagi, dan terlalu pagi. saya mendapat pukulan dari seseorang, pukulan yang mengistilahkan dirinya sebagai "sedalam". Dia yang aku percaya, berkata maaf tidak mengetahui saya sudah sedalam itu. Ada yang melonjak juga pagi ini ketika ia menanyakan apakah saya sudah memakai baju selam meski lupa tidak membawa oksigen, lalu bisu menjawab, "Saya pakai baju tidur, saya pikir saya akan pergi ke Neverland, ternyata salah." Dia hanya membungkam dan menggenapi kata "sedalam" itu dengan dalam-dalam yang lain. Lalu berpesan, "Hati-hati, hati."

Masih dia, mengingatkanku akan si pemarah. Saya yang semula hanya jengkel dengan tuduhan egois disadarkan olehnya, "Marahnya itu sama keadaan. Kalo ternyata apa yang kalian yakini selama ini akan jadi sia-sia. Agama kembali menjadi sesuatu yang sakral. Dia tau dia pemenang, tapi dia tidak punya nomor peserta. Itu akan jadi sangat menyakitkan dari hanya sekedar ditinggalkan." Tidak ada jawaban yang lebih pantas dari, "Saya tahu." tapi saya yakin dia tahu saya tidak tahu. Dan akhirnya yang saya tahu hanya egois itu menyenangkan, jika lawan mainnya tepat.

Untuk dia yang lain.
Mungkin saya belum sadar dengan pukulan-pukulan itu. Terkadang saya berpikir siapa yang bisa membuat saya menunggu hanya dengan kalimat, "Tunggu saja nanti kalau saya sudah punya waktu." Tanpa permohonan menunggu, atau jaminan akan ditepati. Ada yang bilang dia orang yang sangat hebat atau sebaliknya saya yang glaukoma. Saya menggadaikan sesuatu tanpa berkas. Dia hanya datang terlambat tapi sudah menggenggam nomor peserta VIP. Curang. Dia menang telak tanpa melakukan apa-apa. Saya ingin tidak memenangkannya, tapi selalu gagal. Dan ritual 2 sampai 3 jam bertukar cerita itu menjadi sangat tidak masuk akal karena membuat saya semakin memenangkannya. Tanpa usaha. Dibalik keinginan ingin diusahakan, ada maaf yang selalu diberi percuma lantaran keinginan itu hanya bual belaka.

Untuk kamu.
Kalau saja ada kata yang lebih tinggi tingkatannya setelah "Maaf" saya ingin sekali kamu percaya. Saya berbohong terlalu banyak. Saya tahu kamu tahu saya berbohong, dan saya tahu kamu selalu berusaha untuk berdamai dengan marahmu, untuk berdamai dengan kondisi dan selalu mempertahankan meski kamu tahu pertahanan saya mulai rapuh. Saya tahu kamu selalu penuh usaha meski marah-marah. Orang lain tahu kamu tidak punya nomor peserta. Semoga kamu tidak pernah lelah berusaha.

Untuk saya.
Saya harap ini bukan hanya sekedar game virtual bobrok. Saya harap game ini membiarkan pemainnya punya 2 nyawa, dan hak veto untuk berjaga-jaga jika salah keputusan. Saya harap game ini segera di upgrade. Karena sudah ada yang mulai lelah bermain. Bahkan saya ingin saya yang kalah, bukan saya yang memutuskan siapa yang menang.



0 komentar:

Posting Komentar

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena