ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Minggu, 12 Oktober 2014

Dalam



Kendati jelas batas antara laut dan pantai, tidak ada yang bisa tahu, seberapa dalam air dalam mangkok super besar itu dapat menenggelamkan. Terlebih jika diberi bonus palung, lengkap dengan lubang hitamnya. Cahayapun enggan lewat apalagi mengetuk, karena takut membangunkan, ia juga takut ikut lenyap dan terserap hingga tidak lagi disebut cahaya. Ia ikut hitam.

Aku berdiri di atas tebing. Indah. Kakiku bisa kuayunkan dengan iringan ombak yang menderu tiada lelah. Tanpa hujan dan sedikit sinar cahaya hingga aku tidak perlu memakai kacamata. Angin meniupkan apa saja yang lebih ringan dari yang masih bisa bertahan. Aku. Tidak begitu dengan kerikil yang tidak terlalu berat. Jatuhlah kerikil melewati kakiku yang masih terayun dengan cepat. Nampaknya gravitasi tidak meloloskan siapa saja yang masih ingin bertahan namun tak berpijak. Aku hanya bisa melihat sampai ia menyentuh bibir lautan dengan menyisakan percikan kecil indah. Selepasnya, aku tidak bisa melihatnya lagi dan tidak kudengar ia membuat riuh yang bisa membangunkan macan lautan. Kasihan. Dia pasti sendirian. 

Angin tidak pernah tahu, apa yang ia buat. Karena mudah saja menjatuhkan sesuatu ke dalam lautan tanpa tahu seberapa dalam kerikil akan menjangkar. Seberapa dalam luka yang ditimbulkan.
Mungkin karang hanya tersentil geli. Tapi siapa yang tahu, kerikil tidak dapat kembali. Terperangkap dalam-dalam, meski ia terkadang merindukan angin yang sering mengajaknya bermain dengan debu dan daun kering.
Terkadang, harap yang kurang ajar menginginkan gravitasi hilang dalam air. Agar ia dapat sesekali melihat udara untuk menyaksikan yang menjatuhkannya tengah baik-baik saja.

Tidak ada yang tahu kerikil sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang mengerti seberapa dalam dia jatuh.


12 Oktober 2014
K.

0 komentar:

Posting Komentar

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena