ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Minggu, 07 Agustus 2011

lebih dari sakit .


 
Sebuah cerita memalukan yang sudah lama ingin disuarakan ,bukan tanpa sebab ,hanya bermodalkan muka baja ak menuangkan semua ini dalam kata .siapapun boleh menertawakan ,boleh menghardik ,menganggap rendah ,tapi tak ada satupun yang boleh kasihan padaku !

Setengah tahun sudah ak begini .lebih tepatnya keluargaku begini .mungkin sudah ada beberapa mata ,bahkan hati yang tau .namun  berbanding memalukan dari semua yang belum tahu .berkaca dari sebuah keterpurukan. Ak menulisnya dengan gelap, dengan air mata tentunya, dan tanpa pembaca.

Ayah tidak bekerja dengan berbagai polemik dan alasan yang masuk akal. Keluargaku hidup hanya dengan uang pinjaman. Bank, keluarga, kerabat, bahkan teman-temanku. Ada gejolak tersendiri ketika kutahu uang sudah habis, lalu kami dengan lihai melakukan kegiatan baru yang awam kami pelajari, namun kini menjadikan pandai untuk melakukannya periodik.
Puncaknya adalah ketika, dua bulan lalu , “ak” putri sulung ayah yang ibukku lulus dari SMA. Saat itu ada acara wisuda, yang ak tau ak ingin tampil beda dan sedikit luar biasa. Namun uang berbicara bahwa sedang tidak dirumah. Kondisi mengharuskanku berusaha semampunya untuk datang ke acara itu tanpa mengeluarkan uang. Jika pada umumnya ,teman-temanku menyewa busana atau make up dengan uang banyak yang mereka punya, ak sadar diri ak tidak seperti dulu. Maka kupinjamlah dari siapapun busana itu, make up ala kadarnya, dan menapaki koridor sekolah dengan dagu kuangkat, senyum lebar, raut bahagia tanpa kutorehkan sedikitpun luka yang ada. Ak malu ? TIDAK. Pacar, ayah, dan ibuku mengatakan ak cantik. Ak bangga namaku juga disebut dalam microfon.

Malam harinya ak melihat pengumuman test masuk perguruan tinggiku dari jalur prestasi. Takut perasaan ini, dingin sekujur badan. Lalu pacarku yang melihat ada namaku dipampang bahwa ak lolos ujian. Ak berteriak, masuk ke dalam rumah, menyampaikan pada orang tua dengan suka cita. Mereka memelukku dengan derai air mata, mengucapkan terimakasih pada Yang Kuasa. Ada satu kata yang tak pernah ak lupakan, ayahku berkata bangga pada anaknya yang tidak begitu pintar ini.

Dengan uang pinjaman lagi ak membayar uang kuliah, jauh kerabat sana-sini telah meluangkan uangnya. Dan belum cukup, ak harus bolak-balik Malang untuk meminta keringanan atas biaya kuliahku. Jujur, sebenarnya nominalnya tidak cukup besar, tapi sekarang jadi monster karena keadaan.

Sudah bukan perbincangan yang asing lagi, suatu pagi ak melihat ibu duduk di pinggir kolam, mendengarkan perbincangannya bahwa sedang butuh uang. Uang uang uang.
Sesuatu yang diidamkan semua orang, namun tahukah ? uang membunuhku beserta keluargaku dengan perlahan.
Belum lagi keinginan adik untuk khitan. Karena umurnya sudah cukup dan teman sekelasnya telah banyak yang bercerita telah melakukannya. Namun adikku mengerti keadaan kami, anak sekecil itu. Bahkan dia tidak malu memakai seragam lama, tas, dan segalanya yang serba pas-pas an .mungkin itu biasa kulakukan, tapi dia adikku. Dia masih kecil namun bisa menanggung beban mental sebesar ini.

Pada saat itu melewati ulang tahun ibuku. Ak dan ayah patungan uang hanya untuk sebuah kemeja, sederhana, namun ak membungkusnya dengan air mata rintik-rintik di pipi. Lalu ulang tahun ayah, yang sudah tidak cukup uang lagi untuk sebuah kado, hanya seloyang nasi kuning terhidang, bersama doa tulus ak dan keluargaku. Ayah dengan segenap hatinya meminta maaf atas musibah yang tak kunjung selesai ini. Yang terakhir adalah ulang tahunku. Sudah tidak ada lagi kado, atau seloyang nasi kuning. Uang tidak cukup untuk menghidangkan itu semua. Dengan ibu dan ayah yang membesarkan hatiku berjanji bahwa kadonya menyusul.
Ak hanya mendapat beberapa kado istimewa dari seorang yang istimewa. Yang ada di sampingku selalu dan berkata ak wanita kecil cengeng yang cukup kuat akan masalah. Itulah yang membuatku bersyukur memilikinya hingga kini.
Selalu ada lelaki kuat disamping wanita hebat. Dan selalu ada wanita super, di belakang lelaki sukses.
Ayahku juga berkata demikian,

“ kak, yang sabar yah... waktu semua berjalan itu pasti ada terminalnya. Untuk istirahat dan berhenti sejenak. Mungkin yang kali ini berhentinya agak lama, tapi ayah yakin keluarga kita baka balik kayak dulu. Kakak harus nguatin ibu ya.”

Sederetan kata yang selalu kuingat ketika ak mengantar ayah ke terminal untuk pergi kerja. Yaaaaa, mobil kita sudah tidak ada.
Dengan suara terbata ibu yang kudegar malam-malam, bibir yang selalu menyebutkan asmanya, dan tanpa lelah menguatkan ak, adik, bahkan menyemangati ayahku untuk terus berusaha. Kulihat kerut di dahinya yang semakin melengkung. Terkadang ak menangis bangga punya ibu sepertinya.

Meski sudah satu bulan ini ayah bekerja, namun itupun bukan sebuah kabar baik. Ada saja ombak yang tak henti menggulung perasaan kami. Utang bank yang jatuh tempo. Dan sering sekali ketika pagi-pagi ak dan ibu nonton TV, lalu ada pegawai bank itu, kami mengecilkan TV, mendengarkan mereka mengetuk pintu yang semakin lama semakin kencang oleh amarah. Tapi kami tetap tidak membukanya, takut atau alasan uang darimana untuk membayarnya. Lalu mereka pergi dan kami berdua cekikikan di dalam. Ada juga pegawai listrik baik yang datang. Dengan tunggakan beberapa bulan dan tulisan mengancam, “ jika tidak segera dilunasi, maka listrik akan diputus dalam waktu dua hari “

Ada saja bencana itu. Transferan uang gaji pas-pas an yang telat, atau apalah. Sampai ak mendengar kemarin pagi ibu berkata lirih, “ ya Allah kenapa hidup seperti ini, kocar-kacir, sampai kapan ya Allah. “
Ak larikan diriku sekencang mungkin ke kamar, menangislah ak bersama bantal, dengan perasaan takjub mengerti, bahwa hati ibuku sedah mulai rapuh.

Sampai kapan seperti ini. Jika air mataku bernilai, mungkin sudah kubayar hutang-hutang keluagaku tadi. Sakit ya Allah, sakit ketika melihat teman-temanku berbaju baru, mengatakan ini itu, memiliki segalanya. Miris teriris, ak mengelus dada, mungkinkah ak seperti dulu lagi ?

Ak terjatuh sangat dalam, lebih dalam dari sakit yang dirobekkan lelaki pada hatiku. Ini sakit yang tak ternilai.
Lebih dari sekedar jatuh, lebih dalam dari terluka, dan yang aku yakin, ini lebih dari sakit...


Ada sebuah janji hati, bahwa suatu hari ak akan membalas kesakitan ini dengan senyum di bibir ayah, ibu, dan adikku.
Read More

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena