ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Senin, 23 Juni 2014

aku bukan penuntut, sungguh

aku ingin berbicara dengannya lebih dari sekedar menggunakan bahasa.
aku ingin lebih dari sekedar "ngobrol sore".
aku ingin dia tahu maksudku tanpa aku beritahu.
aku ingin dia tidak merasa bahwa aku penuntut handal yang ingin dia selalu tahu aku.






Read More

Senja (Part 2)

malam yang seperti biasa datang tepat waktu. sehari kulewati dengan beberapa kegiatan yang membuat betisku lebih kaku dan punggung yang sedari sore sudah berteriak ingin direbahkan. 
pesan singkat dari batin telah kuterima, ada hal yang memaksa mata kelelawar pagi hari untuk membuka, serta kaki yang belum juga kembali baikan dipaksa berjalan meski tidak seberapa jauh. sesampainya disana, aku disambut oleh pintu tertutup serta jangkrik yang sudah ingin pulang untuk beristirahat. beberapa menit kemudian, senyap itu berganti dengan suara pintu terbuka, aku masuk penjaranya. tidak banyak bicara, dan mata sipitnya juga semakin sayu enggan bernasib sama dengan pintu rumahnya. aku menyaksikan dia melakukan beberapa hal dengan mata menuju layar bercahaya. aku bisa merasakan setiap perpindahannya. aku terus saja mengerjakan pekerjaan utamaku datang ke penjara itu pagi buta. ya, mengerjakan tugas sebenarnya hanya alibi dan sebagai kamuflase atas keinginanku menyaksikannya di awal hari, untung saja aku punya beberapa warna alasan untuk menutupinya.

dia lalu asyik dengan telepon genggamnya, dunianya dia buat menyempit dan selalu tidak ingin terdengar sepi setiap bersamaku. bukan hanya kali ini. menyalalah music player dari genggaman tangan manusia yang masih rebahan di kasur, kemudian sesekali terdengar sound aneh dari permainan yang ia mainkan untuk melindunginya dari rasa canggung, mungkin.

beberapa banyak menit di awal terasa jengah dan asing, sampai pada suatu detik aku bertanya sesuatu kemudian dia merespon tanpa menjawab sekatapun. hanya pergerakan dari badan yang aku yakin itu terkendali dalam sadarnya, membuatku dapat merasakan hembusan napas lirih yang meniupi rambutku serta baju tebalnya yang kurasa hampir bersinggungan dengan punggungku. tangannya berada di atas tangan kananku dan itu menjadikan semua waktuku tidak terkendali dan sontak mengundang niat untuk menjauhkan punggung tanganku dari telapak tangannya. dia terus saja menjelaskan sesuatu yang aku gagal mengerti karena lebih terfokus pada hal lainnya, merapikan perasaan.

ingin sekali aku mengirimkan seperdelapan bagian jiwaku untuk menelisik dan mengendap masuk ke dalam hatinya, alih-alih hanya untuk mengintip apakah jantungnya mendetakkan nada yang berbeda dari normal, seperti lebih cepat mungkin. tapi sebelum berhasil menemukan cara untuk masuk, keadaan hangat karena tubuh kita saling dekat itu memudar, menunjukkan dingin pukul enam pagi yang sebenarnya. dan dia kembali pada dunianya lagi.
mungkin segalanya terlalu kentara kala itu, aku rasa dia tau yang aku ingin tutupi. dia mendekatkan diri namun tidak seintim tadi. seraya mengambil alas untuk kepalanya dan menemaniku mengerjakan tugas. sambil sesekali bercerita hal yang selalu kuingat setiap titik komanya.

lalu aku menemui waktu yang selalu ingin kumundurkan, yakni selesai. aku telah menyelesaikan tugas gadunganku dan tidak punya alasan lagi untuk tinggal lebih lama. dia menyuruhku untuk tinggal beberapa menit menunggunya mandi. akupun mengiyakan tanpa syarat sambil melakukan hal lain yang aku sebenarnya tidak ingin aku lakukan, kecuali melihatnya. tidak sempat kusaksikan dia keluar dari kamar mandi, aku sudah menemuinya selesai berganti baju dan membuka pintu kamar yang sebentar tertutup. aku sangat ingat, dia berbaju putih sangat bersih, bercelana biru sedikit tua yang sepertinya baru dia ambil dari lemari karena masih terlihat jelas bekas setrika. dia berjalan ke belakang sambil mengeringkan rambut, tanpa ia sadar saat membalikkan badan dia membuat waktuku macet, dan mulutku tercekat tidak sanggup merespon apa-apa kecuali menyimpulkan senyum yang tidak ingin aku sudahi. dia sangat indah. dengan bau sabun dua ribu yang aku rasa dia beli di kios gang sebelah serta rambut yang belum kering beberapa menyembul ke atas. aku sangat ingin belum pernah melihatnya dengan kondisi sesempurna itu. kemudian aku takjub dan waktuku macet berulang kali sampai aku merasa cukup.

setelah dia mengantarku pulang, dia hanya berpamitan dengan senyum sebagai alatnya dan alis kiri yang setengah mengangkat ke atas. sialan ! dia berhasil membuat jiwaku tidak waras pagi itu. dan ketika pintu pagar kututup, aku melihat dia hilang dari pekarangan lalu aku merasakan aku telah merindukannya.

sampai pada sore hari di tanggal yang sama, aku masih memandangi ruangan di luar rumah yang dulu menjadi tempat bagi objek intipanku. sudah kosong, sudah pindah, membawa sebelah hatiku turut serta bersamanya. tanpa dia tahu, aku terus berharap dia segera kembali untuk mengembalikannya utuh bersama hatinya yang melengkapkan.
Read More

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena