ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Senin, 07 Juli 2014

sudahlah

Belum usai diri ini mencoba untuk menjawab apa yang telah berpuluh jam sebelumnya menjelma menjadi sebuah tanya. Malam menjelaskan tanpa ampun dengan wali semua perangkatnya yang tidak lelah menyinar. Malam itu aku ditertawai langit cerah, kuinginkan hujan agar membuat semua lebih lama. Namun aku dipaksa bangun untuk menyadari bahwa hujan hanya dalam hatiku saja. Mungkin itu rasa-rasanya sosok kesedihan yang terijabah. Beberapa kilo aspal hangat turut menjabarkan bahwa ini tidak adil. Begitupun dia yang sedari tadi asyik dengan gitarnya. Dentingan nada sumbang kian mengiris kuping. Tidaklah membuatnya risih terdapat seseorang duduk di depannya yang sesekali mencuri pandang atas sesuatu yang baru dari dirinya. Yah, dia potong rambut. Ingin aku bilang kamu ganteng, kamu bersihan, atau kamu lebih rapi, tapi kalimat itu sudah pudar menjadi jamu pahit yang tertelan bersama ludah orang yang seharian berpuasa. Seperti kata maaf yang sedari kemarin harinya tertahan untuk terucap lantaran kesempatan juga ikut menguap. Nampaknya keahlianku untuk menyusun alinea turut hilang bersamaan dengan kemampuanku untuk menatap matanya. Entah apa yang terjadi pada dua orang yang sangat mengenal satu sama lain bertahun-tahun, bukannya tidak adil kebersamaan itu dijadikan bahan lelucon oleh satu malam dan menjadikan sesamanya seperti orang asing yang enggan menyapa? Segera kusudahi ketidaktahu dirian ini. Lantas aku bangun dan berpamitan dengan doa bisa kau tahan. Namun aku salah berperasangka, kakiku terus melaju meskipun lambat hingga kunyalakan motor dan hilang di balik pandangannya yang sudah ia alihkan sejak aku masih di depan rumahnya tadi. Mata ini tak henti menengok spion sambil malu, alih-alih ada dirimu tercermin, namun salah duga itu terus berlanjut. Aku hanya mendapati lampu-lampu kendaraan yang menyilaukan dan membuat mataku berkunang-kunang. Setidaknya ada yang menyamarkan luka ini, ada yang bisa menutupi mata yang telah lama ingin menjatuhkan sesuatu. Aku sangat paham mengenai apa yang tidak ingin dia bahas. Monolog malam itu akhirnya pecah menuntut sebuah kepastian. Aku tidak peduli mengenai seberapa nista diriku memohon, aku hanya takut pembicaraan ini tidak akan lagi ada. Di ujung telepon sana suaranya setengah terseret, isyarat bahwa ingin dialog satu sisi ini segera disudahi. Aku menjelaskan apa yang dari puluhan jam lalu harusnya sudah aku rincikan. Tapi lagi-lagi aku disalahkan, dan keengganan itu semakin kentara saja. Kini tertuduhlah aku sebagai si pemaksa. belum cukup itu, dia matikan saluran telepon dari ujung yang terdengar sangat jauh dari biasanya. Dikirimkannya apa yang ia muakkan dan ingin muntahkan tadi dalam sebuah tulisan lewat layar kecil bercahaya. Aku heran mengapa aku senekat ini menanyakan sesuatu yang sangat retorikal. Getir memang, namun kesalahan semalam membuatku seperti orang haus jati diri dan merunut apa yang menjadi sebab serta ingin menatanya agar terdengar baik dan tidak picisan. Tapi apalah artinya jika niat itu hanya datang pada satu sisi saja. "Aku akan menyesal setelah malam ini." Ia mengatakannya seraya mengirimkan pukulan nyata yang tepat mengenai dada. Lalu apa maksudnya? Aku yang sudah ingin bersama dan dia juga demikian, namun mengapa keputusan sudah terlalu cepat menjadi vonis. Kenapa terlambat itu datang sebegitu singkat? haruskah aku yang memperbaiki sendiri seperti yang sudah-sudah? Lagi. Ada lelah yang keterlaluan dan jengah yang terlampau tebal. Nampaknya aku tidak boleh menutup mata dari realita "sudahlah" ini. Lantas kebersamaan kita harus kuapakan setelah ini? Kuburan itu telah penuh dengan hal pahit lainnya, tidak muat jika harus kujejali dengan kenangan bertahun-tahun kita. Andai ada tiket maaf itu, berapapun kubeli walau harus mengemis di kaki calo. Namun kamu enggan memberikannya dan dengan mantab mengatakan tiket itu telah hangus. Masaku sudah berakhir. Kamu juga sudah terlanjur mengumumkannya, dan tidak ingin aku membuatnya malu untuk menarik keputusan yang telah diketahui banyak orang itu. tanpa peluk, hanya jabat tangan singkat yang mengakhiri "kita" dengan lugas. aku juga harus berusaha mempelajari konsep sudahlah-mu dan mencari kuburan baru. meski aku masih ingin kamu antar ke terminal bus setiap minggunya dengan bonus kecup kening, tapi pagi ini cukup angin dan hati yang kian terluka saja yang membawaku "pulang" untuk menjauhimu. Ada hati yang masih sangat ingin, ada sesal yang begitu dalam, ada mata yang belum bisa berhenti mendesirkan luka hingga membuatnya tak kunjung kering oleh air.
Andai saja aku bisa dimengerti, aku ingin untuk sekali ini saja.
Read More

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena