ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Sabtu, 10 Mei 2014

Senja (Part 1)

ada yang kulewatkan dari pagi ini
embun
gemericik air sengaja kualirkan perlahan, kecil-kecil saja agar tidak membangunkan nyamuk yang baru saja tidur karena semalam telah berjaga. enam rangkaian sujud kuselesaikan, dengan ritual akhir yang lebih lama dari lima sebelumnya, hingga tidak jarang membuatku tersedak karbondioksida. aku mencari yang membangunkanku, tapi aku lagi-lagi kalah. terlalu banyak hal yang kulewatkan hingga menyudutkanku pada posisi selalu menerima. kali ini aku kalah dengan matahari pagi, ia menguapkan embun lebih awal dari biasanya. menjaga mahkota keduanya setelah pelangi, meski hanya untuk sekedar kunikmati beberapa menit saja. tapi aku sudah kalah.

kuketuk pintu yang lama tertutup sebagai tamu baik hati yang mempersilahkan tamu lain untuk masuk. cahaya.
namun tak kunjung terbuka. sekalinya sedikit menganga, aku hanya menjumpai setengah badan telanjang dengan mulut bermentega yang siap merusak saraf dan melanjutkan kekalahanku. sebelum cahaya ingin masuk ke dalam kubangan kecil bagian salah satu inderanya, aku buru-buru pergi dan meletakkan segelas susu sapi hangat di nampan yang beberapa detik lalu telah berpindah tangan.

sudah lama aku gila, sudah lama aku memuja berhala hidup, berambut gimbal bersandang lusuh. ritual susu hangat tiap dua hari sekali pada tanggal ganjil sengaja kurutinkan. alih-alih untuk mencuri sedikit kotoran rambutnya yang tidak sengaja jatuh ketika bertabrakan dengan semilir angin. menyapu puntung rokok yang ia buang dari jendela kamar setiap sore, lalu kubersihkan kembali dan kujejer rapi dalam kotak logam tipis berukuran 15x15 cm.
aku suka gabus cokelat setengah basah hasil hisapannya. baunya harum, lebih nagih daripada bau mie instan goreng hangat. mungkin hampir sejajar dengan bau tanah setelah hujan, maka jangan suruh aku memilih antara keduanya.

tidak jarang aku melihatnya bersama sosok satu jenisku. tidak satu dua dan sekali dua kali. tapi memang benar kata seseorang dalam cerita fiksi itu, "tidak ada yang tahu siapa yang lebih mencitai siapa, dan untuk berapa lama." tidak ada yang tahu, sekalipun aku. mungkin suatu saat akan ada yang memberitahuku, jika kotak berisi puntung itu telah penuh dan harus kuletakkan di pelataran belakang rumah tempat hujan menyematkan keajaibannya setelah berhenti bertugas.

aku masih sama di tempat yang susah ia lihat, menunggu mati namun tidak rela. banyak yang kutargetkan dan ingin kulakukan, menyanyi, surfing, mendaki puncak tertinggi, rock climbing, ke alaska, dan berada dipelukannya. maka aku bukanlah orang mulia yang tidak sengaja mati muda, jikalau esok aku tinggal nama, mungkin semua atas dasar kesengajaan. perjalanan hidup ini layaknya sinema, setiap orang diberikan perannya masing-masing tanpa bisa memilih. dan sekalipun aku memiliki pencapaian, maka itulah hal yang membuatku akan sendiri. karena satu posisi hanya untuk satu orang yang mengisi, dan bersiaplah menjadi sendiri. begitupun aku yang ingin posisi di sampingmu, dengan resiko suatu saat aku akan sendiri.

mungkin aku terlahir untuk mencintai puntung rokok. bertaruh dengan waktu setiap hari, mengenai berapa banyak yang aku dapat. dan selalu kalah ditanggal tua, karena dia selalu hemat.
namun sore itu angin bertiup lebih sejuk dari biasanya. dia menyapaku... untuk meminjam sapu. aku kalah telak, kotak logam libur kuisi untuk sehari. gara-gara sapu duniaku macet, tanpa asap dan klakson-klakson mahal. dia memanggil namaku dengan lancar, menarikku untuk menoleh dan tertarik pada pusaran medannya. kakiku lemas, kakiku tidak punya pilihan lain untuk melipat dan duduk di kursi rotan depan kamarnya. kita berbincang sangat lama, dibandingkan perbincangan oleh pengantar susu pagi. untuk beberapa menit, ditangan telah ada gitar dan berpangku pada pahanya yang bersila. jemarinya memetikkan nada-nada yang membut macet semakin menggila. tanpa kesengajaan mulutku meramalkan lirik lagu yang ia mainkan, sebenarnya agar tidak terlihat canggung dan terasa sedikit sok asik. kita berbicara tanpa saling pandang, bergantian melempar tawa tanpa tahu langit sudah berwarna orange, sebagai latar dari kumandang adzan masjid gang sebelah. nyamuk-nyamuk yang mulai bekerja menuntun kami untuk kembali bangun dari mimpi.
sore itu, aku telah menyelesaikan satu keinginanku, sore itu alam menjawab doaku. dan tidak akan kulupakan lagu yang kita nyanyikan di ujung senja.

samar aku dengar suara serak pecandu nikotin itu, "Zi, terima kasih." aku hanya membalas dengan senyum terikhlas yang sudah lama meronta keluar dan segera kuleyapkan diriku dibalik tembok karena khawatir ia melihat perubahan spontan dari mukaku yang terbakar senja.

namanya, Adra.

Read More

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena