ketidaksempurnaan rasa dalam cakrawala aksara .

Selasa, 01 Maret 2011

Tissu di Balik Pintu Kamar .



           Terhempaskan badan di hamparan kasur yang tak juga empuk dirasa-rasakan. Liby menghelakan nafasnya lekat dalam deburan malam yang setengah mengejek sedari awal. Dirasakan sakit yang mendalam, tentang beberapa bulan ini yang begitu hambar, tentang suatu sikap yang sering mencekat langkahnya, tentang Franciss. Sesekali membenamkan matanya dibalik bantal, tak juga hilang luka yang sudah mengakar dari kejauhan. Liby berdehem pasti, dalam pikirnya mungkin Frasnciss benar. Dan Liby kembali memakan hatinya sendiri untuk sebuah hubungan.
            Waktu hidupnya akhir-akhir ini ia habiskan dengan pria seumurannya yang lumayan tinggi, tidak gemuk, menarik dan entahlah, yang ia cintai sejak dua tahun lalu. Ada sisi lain yang mengejek dirinya sendiri, akan ketidak kokohan sikap ataupun sebuah hidup yang Liby habiskan untuk bertahan, bukan menikmati. Benar akan rasa yang dalam, pada sesosok Franciss, rasa cintanya tak perlu diukur fisika, namun tentang kekuatan berdiri serta hembusan topan lembut, dengan sehelai keju sebagai pelengkap nikmat. Selembut itulah sayang Franciss pada Liby, selembut angin topan yang merusak satu persatu sistem gerak Liby dan selembut keju yang nikmat dengan secangkir kopi pagi hari. Terdengar dari kejauhan kamar kost yang sedari tadi koridornya telah gelap karna larut. Suara gebrakan pintu dan selisih kata antar dua orang yang sama-sama bertahan itu. Pada akhirnya Franciss keluar meninggalkan Liby yang menjadi tangisannya, semakin terpojok, tlah duduk di pojok kamarnya, dan hati yang kian ciut merasakan pertengkaran yang semakin memojokkan dia di hati Franciss. Masih saja isakan itu terdengar lamat-lamat seiring bersembunyinya bulan dari tempat mangkalnya. Dering telfon memecah sunyi,
“ Gimana keadaanmu by?”
“ Masih sama. Uda makan Ciss?”
“ Sudahlah jangan menggembirakan, kamu tau aku gak pernah tega biarin kamu nangis sendiri.”
“ Akhir-akhir ini itu yang sering kamu lakukan, aku gak papa Ciss, aku seneng kamu marah.”
“ By, coba liat di depan pintu kamar”
Sambil berjalan gontai Liby menguatkan dirinya,
 “ Apa ini Ciss?kenapa ...”
“ Ssssttt, maaf ya sayang Cuma itu yang bisa aku kasih, aku tau kamu pasti butuh.”
Tissu. Franciss selalu bisa dengan mudah mengembalikan suasana, Cuma bermodalkan tissu, kini Liby merebahkan tubuhnya yang kian melelah sejak tadi sore.
            Keserba-biasaan itu yang mebuat Franciss memandang wanita yang duduk manis disampingnya, wanita yang menangisinya lebih dari enam jam kemarin malam. Franciss tak juga berhenti memainkan rambut Liby yang tergerai, sesekali berantakan tertiup angin, lalu ia rapikan lagi. Sore itu mereka duduk di taman kota, melihat akurnya anjing bermain, dan semut yang berjejer rapi. Tak seakur dan serapi hubungan serta perasaan di hati masing-masing dari mereka. Kebersamaan itu berlanjut di kost Liby yang lampunya meredup romantis, dibalik jendela yang mengembun atas hujan. Mereka berseder di kursi yang sama.
“ Ciss, kamu tau nggak kenapa aku suka hujan?”
“ Tau by, karena kamu ngerasa ada yang lebih banyak ngeluarin air mata daripada kamu, karna kamu suka bau tanah setelah hujan, dan karna hujan salah satu alasan ak nggak pulang kan?” Franciss tersenyum melihat Liby yang takjub melihat hujan yang biasa.
“ Haha. Kamu dukun ya sayang, kenapa bisa tau semua.”
“ Nggak seminggu dua minggu aku kenal kamu sayang, dan nggak sekali aku denger ceritamu tentang hujan.” Sambil mengelus rambut Liby.
Malam itu berakhir dengan tawa, yang mereka tau untuk mencoba lupakan balada petang kemarin di tempat yang sama. Beberapa hari kedepan masih mereka lalui dengan setting hati yang sama, sampai pada suatu malam, pertengkaran yang melumerkan segala pahatan master dunia, tentang kepercayaan. Bersikukuh mempertahankan pendapat masing-masing, dan pada akhirnya masalah itu berlalu tanpa maaf.
            Setiap masalah, Franciss menceritakan semua pada teman ceweknya, Ara. Sesosok yang selalu ada dan tak jemu mendengarkan cerita yang kian kompleks. Begitu juga dengan Liby, kedekatannya dengan teman adiknya, yang membuat pautan hubungan antara keduanya, Raga. Mereka sama-sama tau bahwa yang dilakukan adalah salah. Maka dengan pasti, semakin berjaraklah Franciss dan Liby.
            Malam selanjutnya, Franciss duduk termenung di halaman rumahnya, dengan Ara yang juga bersamanya duduk memberikan saran-saran yang begitu membuat Franciss tenang. Dari situlah dua buah garis yang berbeda kian mendekat bersinggungan tanpa dosa. Ada sejumput rasa aneh yang menentramkan, seiring dingin yang membuat Franciss mengecup pipi Ara, sebagai tanda terimakasihnya.
            Di chapter yang lain, nampak Liby duduk santai di dalam mobil dengan Raga pak supirnya. Mobil terhenti sengaja, beberapa menit kemudian Raga masuk dengan es krim di tangan,
“ Es krim bahagia ni By, penghilang stres.”
Liby tersenyum menanggapinya, dan dengan beringas melahap es krim yang kian melumer, seperti sayangnya pada Franciss. Malam itu seperti terbawa arus nama Franciss di hati Liby, tak sempat ia pikirkan. Sudah ada sepiring semringah yang Raga tawarkan cuma-cuma.
            Beberapa bulan berlalu sama, mereka jadi miskin komunikasi, kadang seminggu sekali menelfon, ato tidak peduli. Franciss juga Liby menikmati hidupnya yang sekarang, bersama berlian ato mungkin pelampiasan yang kian melekat di hati mereka. Ada kenyamanan saat mereka tak bersama. Terpatung Liby di kamar kostnya, seraya jatuh ke dekapan Raga yang tak jua jemu memerhatikan pantulan gadis yang dicintainya dari jendela. Kini sebuah pertanyaan yang timbul,tentang salahkah sikap mereka, dan atau tentang komitmen yang mereka jalankan dengan percuma. Cuma status yang mendekatkan mereka. Apakah itu bermakna? Intuisi Liby sedari pagi diuji dengan pertanyaan serupa. Tak lain dengan Franciss, ada bunga yang kini mekar di samping bunga layu yang sejak lama menghias kamar tidurnya.
            Perjalan hidup itu akan selamanya berguling, tanpa melihat siapa yang stagnan dan siapa yang berlari. Suatu senja mereka bertemu, Franciss dan Liby, di tempat favorit mereka, dulu. Pertemuan yang biasa, melahirkan bahan omongan yang biasa, dan perasaan yang tak kalah biasa pula. Gurauan yang tak lucu bagai mengias bibir sumbing yang susah tertawa. Semakin sadarlah mereka akan ketidak-biasaan hubungan mereka kini. Sepiring jamur goreng yang habis, tak bisa juga menjawab kegalauan hati mendung malam. Menyaksikan dewi malam yang tersungkur lelah, dengan hati-hati Liby menyimpan pertanyaan di dalam diri, dasar hati. Sunggun-sungguh dalam dia simpan. Sudah siapkah mereka tak hidup bersama?
            Sepucuk kalimat meretakkan diam yang kian lama bersandar,
“ Aku abis opnam loh Ciss.” Seru Liby hangat.
“ Aku nggak kamu kasih tau By? Sakit apa? Kurang istirahat mungkin ya.”
“ Mungkin.”
Apakah masih pantas mereka pacaran, dengan serba minim informasi mengenai pasangannya. Semua berlalu begitu lama, kemirisan hati Liby yang mendengar tanggapan Franciss mengakhiri pertemuan biasa malam itu.
Hingga waktu menunjukkan tengah malam, hp Liby bergetar, dan ia membaca pesan,
[ buka pintu kamarmu By, maaf aku Cuma bisa ngasih itu ]
Meloncat dari kasur Liby semrigah membuka pintu dengan sadis, ia mendapati tissu dan sebatang coklat putih kesukaannya. Liby memungutnya perlahan, ada secarik kertas yang membuatnya membuka bungkus tissu, dan merasa Franciss benar, bahwa Liby akan membutuhkannya.
[ mungkin lebih baik kita kayak gini. Memang benar kita tak lagi kenal seperti dulu, aku yang selalu susah mengartikan perasaanmu, dan Raga yang aku lihat semakin membahagiakanmu, entah untuk membuatmu lupa aku, atau yang lainnya ...aku sayang Libyku]
Liby memutuskan untuk menutup hari dengan menangis, setelah sorenya dia melihat Franciss menggandeng Ara, dan tentang surat singkat yang Franciss tinggalkan dengan tissu hadiah.
            Keesokannya Liby menyetujui ajakan Ara bertemu, ia telah menyiapkan tissu dalam tas. Ara berbicara panjang lebar, Liby hanya terpaku melihat bibir yang komat kamit sedari tadi. Entah apakan bibir itu telah terjamah oleh Franciss apa belum. Liby memeluk Ara hangat, membuat Ara menyelesaikan dongengnya. Lalu setelah mereka bertemu, Liby mencari Franciss membabi buta. Hilang aral tak juga Liby temukan. Ia menelpon phonsel maupun rumahnya, masih tak ada tanda-tanda dimana Franciss berada. Dengan sisa tenaga, Liby memojokkan diri di kamarnya, memandangi kalender yang esok harinya sudah ia tandai dengan tinta merah. Anniversary tiga tahunnya. Ia mengerang seperti sakau, sejuta pertanyaan menyesakkan dada. Akhir segalanya bukan di hari bahagia, itu yang selalu Liby ingat. Lekat-lekat ia memandangi jendela yang kian mengembun dengan dingin derasnya hujan sore hari. Memori otaknya memutar kembali kenangan enam bulan lalu saat ia didekap Franciss di kursi yang sama.
            Liby menemui Raga dan bicara banyak. Raga akan dengan sangat mengerti posisi Liby, juga perasaannya pada Franciss yang masih belum berubah sejak hampir tiga tahun lalu saat keduanya merasakan indah cinta pertama, tentang rasa sayang Liby pada Franciss.
“ Besok aku....” kalimat Liby tartahan.
“ Kamu tiga tahunan ya.” Senyum hambar mencuat di bibir Raga.
Liby mengangguk lembut.
“ By, dua hari lalu aku ketemu Nizar, adikku. Dia tanya kapan kamu maen ke rumah lagi. Aku bingung harus jawab apa By, aku cuma senyum. Dia kira kamu pacarku, aku tambah senyum. Aku bakal kangen masa-masa kamu cerita sama aku By, kalo seandainya kamu baikan sama Franciss besok. Ak seneng deh By, setidaknya aku bisa jadi pacar kamu di pikiran Nizar. Aku seneng banget.”
Liby bergerak maju dan memeluk Raga hangat agar tidak melanjutkan ceritanya. Dalam hati Raga sangatlah dalam ,mengenai perasaannya yang Liby juga tau. Rasa cinta yang menahun sudah tertanam dalam sanubari Raga, tapi mereka tak pernah mempermasalahkannya. Saat hujan reda, Raga berlalu dan itu terakhir kalinya Liby bertemu Raga.
            Saat fajar bangun sebelum ayam bersua, Liby memaksa matanya membuka dan merasakan bau Franciss di hari jadi mereka. Gerimis subuh, mengiringi kumandang adzan yang menentramkan hati. Saat Liby membuka pintu kamar ia melihat selembar tissu membungkus coklat putih bertuliskan “Happy Anniversary”. Liby menangisinya, kali ini tidak dengan tissu Franciss. Ada dekapan kuat yang sudah tidak asing di balik punggungnya, suara renyah itu membisik kalimat yang sama seperti secarik di atas coklat putih dalam genggaman Liby.
“ Love you Liby. Aku bukan manusia kalo nggak sama kamu, aku merasa kamu ngambil separuh dariku, aku nggak bisa tanpa kamu.”
Saat berbalik badan, Liby tak berkata, ada otot yang bekerja dengan mekanisme spontan yang menarik tangannya untuk memeluk Franciss. Sesaat kemudian Liby berkata,
“ Dengan siapapun aku berjalan, cuma Franciss di hati Liby.”
            Pagi itu mereka berkaca kembali pada jendela yang mengembun, merasakan hangat kembalinya hubungan mereka dalam deru hujan yang tak kian mereda. Tak ada lagi tissu di depan kamar, Cuma coklat putih yang akan menunggu seseorang dalam kamar untuk memungutnya. Seperti hujan, yang angkuh mengikis segala macam yang hampir sejajar dengan tanah. Begitu juga hubungan mereka, kokoh dalam pondasi meskipun tak bersama. Dan tak juga berkurang walaupun hujan mulai mereda, serta hari yang kian terang.




buat abii ..

Kecacatan fiksi,
Yang tak juga indah dan berarti.

0 komentar:

Posting Komentar

Blog List

Pages

© My Whole Trash, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena