Seperti
malam yang selalu mendingin di kota ini. Mencari kehangatan di sela keramaian
yang semakin memudar. Seperti itulah aku, mencarimu yang semakin menjauh.
Aku pernah terbang, tidak begitu tinggi. Belum
pernah setinggi ini, dan aku suka terbang. Aku juga pernah jatuh, dalam. Tapi
aku salah mengartikan dalam setelah jatuhku yang ini, namun aku sudah mulai
terbiasa. Oleh orang yang sama, kamu.
Atas nama waktu, kamu membuat semua sangat
berarti. Membuat diriku buta, dari dunia selain kamu. Aku mengenalmu tidak
setahun dua tahun. Aku kamu cintai tidak dua atau tiga tahun. Ya, aku yakin
itu. Mungkin karenanya aku memasrahkan segala kepercayaan yang kuhadiahkan
cuma-cuma tanpa jaminan apa-apa. Aku suka hujan, malam, langit dengan bintang,
dingin, alam, kertas lipat.. semua kamu tahu. Kamu paham akan itu, akan aku.
Kamu berikan semua, waktu, hari, diri, kasih,
dan segala yang bisa kulucuti tanpa kamu mencoba memberikan perlawanan. Aku
yang belum pernah terbang, kamu ajak serta terlalu tinggi. Kamu pinjamkan
sayapmu, kamu tengadahkan lengan untukku bersandar, kamu letakkan aku pada zona
nyamanmu. Dimana semua terasa mudah dan selalu ada.
Kamu berikan semua, waktu, hari, diri, kasih,
dan segala yang bisa kulucuti tanpa kamu mencoba memberikan perlawanan. Aku
yang belum pernah terbang, kamu ajak serta terlalu tinggi. Kamu pinjamkan
sayapmu, kamu tengadahkan lengan untukku bersandar, kamu letakkan aku pada zona
nyamanmu. Dimana semua terasa mudah dan selalu ada.
Kamu bilang kurang suka aku membaca, kamu
bilang aku novel. Kamu juga kurang suka aku tanya kenapa kamu menghilang. Kamu
tidak suka dicari, kamu tidak suka dipaksa menghubungi. Kamu tidak suka ponsel
mu di tanganku, tapi kamu suka mencari bahan untuk apa saja yang bisa kamu tpersoalkan
dari ponselku. Kamu tidak suka aku pintar. Kamu tidak suka aku bawel atau
nyerocos membela diri. Kamu tidak suka aku yang lebih dari kamu.
Oke, aku berusaha menyanggupimu. Alih-alih
belajar menjadi apa yang kamu suka, aku merasa aku berubah. Bukan aku dan
kebiasaanku. Aku menjadi aku versi kamu. Aku menjadi menyebalkan untuk diriku
sendiri.
Dan sudah bukan rahasia, setiap perubahan
pasti beralasan. Seperti perubahanmu yang belakangan jika menerbangkanku sudah
tidak setinggi dulu. Tentang lengan yang sudah mulai renggang menengadah untuk
sandaran kepalaku. Atau kata yang biasa terlampir panjang dalam layar ponsel
dan membuatku berani terbang sendiri.
Ya, benar.. semuanya telah terbagi. Bukan cuma
aku, bukan hanya diriku yang kamu ajak terbang, yang kamu beri pinjaman
sandaran.
Lalu aku jatuh. Sendiri. Kali ini tanpa kamu,
tanpa kamu ajari, namun kamu biasakan. Awalnya aku kualahan, karena memang
belum pernah jatuh sekompleks ini lukanya. Dan entahlah seberapa lama bertahan
basah. Terkena udara, lalu digerogoti belatung dan membuat lukanya semakin
menganga.
Aku belajar banyak hal dari waktu belajar
terbang yang kamu berikan terlalu singkat itu. Bahwa ada kalanya sayap lelah
untuk mengepak, atau bahu yang terkadang lelah untuk menopang. Aku kemudian
mengerti, lagi.
Dalam masa transisi diri, aku akui aku masih
sering menoleh, mengharap dan berdoa untuk kembalinya kamu. Aku masih gila..
aku masih belum bertujuan.
Disisi lain ada sebuah, atau mungkin lebih
tepat dikatakan sebagai seorang. Sedang memproyeksikan dirinya padaku, tidak
pernah jemu meski telah menahun berlalu. Dia, yang juga selalu ada, sangat
lama.
Entah harus kugambarkan bagaimana makhluk satu
ini. Mungkin seperti menu istimewa rumah makan yang jarang sekali dibeli orang
karena harganya yang mahal dan menyenangkan bisa menikmatinya.
Dia tidak sepintar kamu dalam berbicara. Tapi
dia juga pintar berbicara, dia pintar jujur dan dia terlalu polos untuk
bersanding dengan kamu yang sudah berkelas kakap dalam hal apa saja. Dia tidak
segila kamu, tidak se-apa-sajanya kamu. Tapi dia itu dia. Menyenangkan, meski
tidak semenyenangkan kamu.
Aku suka lucu sendiri melihatnya jaim ketika
bersamaku. Melihat dia mengunyah sesuatu dengan rapi, melihat kebulan asap
perokok profesional dari mulutnya, melihatnya yang setengah gugup melihatku
keluar rumah setelah berdandan, melihatnya yang kadang berusaha jadi apa yang
aku ingin dia lakukan meskipun itu bukan dia.
Dia suka mengelus-elus kakiku, dia suka
mengejekku hingga aku kesal, dia suka menjemputku dari manapun aku, dia suka
mengantarkanku ke dokter, dia suka menemaniku yang sedang uring-uringan, dia
suka menyempatkan waktu sesempit apapun untuk menemuiku,dia suka menggombal
gagal, dia suka berbahasa inggris dan membuatku melayang, dia suka melihatku
melawan angin dan berteriak aku senang, dia suka melihatku yang sedang melihat bulan,
dia suka dicari, dia suka, sangat suka aku.
Dia bilang aku bodoh, aku idiot, aku tidak
pintar berbohong, aku pandai membuatnya merasa berarti, pandai membuatnya
gugup, pandai menyenangkannya, dan pandai membuatnya jatuh.. cinta.
Mungkin aku tidak melihat proyeksimu di
dirinya, dia jadi sesuatu dengan berdiri sendiri, dia jadi sesuatu yang aku
suka, terlepas dari aku yang menyukaimu. Dia selalu masa bodoh dengan perasaan
yang aku punya, tangannya tidak lancang pada ponselku, dia hanya suka aku. Dia
juga suka membelikanku es krim, sama sepertimu. Dia juga suka melihatku makan
lahap lalu gemas dengan perutku yang membuncit, sama seperti yang pernah kamu
bilang. Tapi dia suka aku bawel, tidak sepertimu. Dia suka keakuanku.
Dan mungkin kini dia yang mengajarkanku
terbang tanpa sayap pinjaman, tapi dia ada di sampingku untuk berjaga-jaga. Dia
tidak menyewakan pundaknya, tapi dia memelukku ikhlas.
Dia yang selalu ada tanpa aku pertimbangkan,
yang menutupi segala kekurangan, dia penyembuh luka, dan dia yang sedang dalam
perjalanan pulang, menuju aku.
Ada
asap yang lebih hangat, ada kebersamaan yang lebih menyenangkan, ada hidup yang
sudah mulai memiliki tujuan, ada jati diri yang mulai ditemukan. Olehnya, yang
kini sudah menjadi kamu, menjadi kita, dan menjadi aku.